Jumat, Januari 01, 2010

Atas Yogya: Sajak Kerinduan Pada Kota Itu

Dan bila siang-siang kuberdiri di bundaran Tugu menuju ke barat, kenapa selalu ada nafas yang tergesa. Mata tiap pejalan membujur mengikuti rona-rona gedung tua, gereja, restoran cepat saji, dan deretan buku-buku di etalase. "Mama, lihat Pak Wibawa berdiri memandangi Ki Hajar Dewantara!"...

Dan bila setengah malam di Kuncen (daerahku yang ada di sana), lutut-lutut kami meruncing di depan penggorengan milik si Sunda, disajikan segelas Coffemix, dan candaan basa-basi dengan pengecer knalpot tua. Keringat kami berjejeran membentuk kudapan yang asin, kudapan yang selalu kami santap jelang magrib. Dan, di setiap jelang magrib pula kami berdesakan berebut kamar mandi. "Aku tak mau acara keramasku tertunda gara-gara kran bocor." Kami hidup serumah, berjejeran, berdekatan dengan jejeran jemuran celana dalam milik kawan sebelah yang berideologi terbuka.

Lalu bila tengah malam kami berada di antara barisan wilahan-wilahan kuningan, maka tentu saja malam akan semakin bertambah panjang, bertambah syahdu. "Wong Jowo...wong Jowo..." teriaknya mengiringi Golek Lambangsari, tarian yang menakutkan bagi kawan putri kami yang termuda. Aku berjejal di antara gong dan kempul slendro, menunggui giliran menabuhnya.


pndx'2009

0 komentar: