Rabu, Juni 18, 2008

Cara Mengirim Rembulan


Cara mengirim rembulan tak sesulit melihatinya:

Pilih kertas berawan cerah yang tercerah!
Hiasi pita pelangi cendawan yang indah terindah!
Sebari heharuman marjan-kesturi yang paling memabukkan!

Kirim pada yang ingin kautemui!
Meski (mungkin) ia ingin menemui.
Dan (tak mungkin) kautemui.

Cara mengirim rembulan tak semudah melihat hatinya.

                                     
                                                                                     PNDX'2008

Wanita, Wanitaku yang Kesekian



Tak ada yang mengenal dia sejauh yang dia ceritakan pada orang-orang. Orang-orang tak pernah bertanya padanya. Bukannya tidak memedulikan. Bagi orang-orang, terutama bagi dia, pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya sudah tak lagi penting. Cerita tentang dirinya sudah usang dan lapuk. Bukan berarti sebelum saat ini orang-orang sudah mengenal betul siapa dia, tapi memang dia tak suka diberi pertanyaan. Orang-orang bertanya, tak akan satu pun pertanyaan yang dia jawab.

Orang-orang hanya tahu dia adalah wanita. Wanita yang mungkin memang selayaknya wanita. Wanita yang selalu bertindak yang seharusnya dilakukan wanita. Dia wanita yang biasa saja. Standar wanita ada padanya. Dia adalah wanita yang standar, tidak lebih dan tidak kurang.

Ya, dialah wanitaku. Namanya juga sederhana: Wanita. Orang-orang juga tak tahu bahwa dia adalah wanitaku. Wanita adalah wanitaku. Wanita adalah wanitaku yang paling wanita, standarnya wanita. Bukan berarti Wanita adalah wanita ideal. Bukan! Wanita adalah wanita yang biasa saja.

Ada satu yang mungkin hanya aku yang tahu dibanding orang-orang. Satu hal sepele yang begitu luar biasa bagiku. Wanita suka sekali bercermin. Ya, bercermin. Hampir tiap hari Wanita selalu memaku duduknya di depan cermin. Mungkin memang beberapa menit tiap harinya, namun beberapa menit itulah saat-saat yang khusyuk bagiku, dan terutama baginya juga. Selayaknya wanita yang biasa saja, Wanita selalu tertegun memandangi wajahnya di depan cermin. Sepertinya wajah itu menyimpan dunia sendiri. Dunia yang biasa saja, tentu.

Di dalam perkacaannya jugalah, ia selalu bertanya. Itulah. Ia tak suka ditanyai, tetapi begitu gemar bertanya, bertanya pada dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah hal yang selama hidupnya tak pernah ia temukan jawabnya. Ia bertanya tentang definisi cinta. Kata sederhana: Cinta. Ia tak mencarinya di kamus, surat kabar, majalah, tabloid, internet, pamflet-pamflet, atau pun seminar-seminar. Wanita mencarinya di depan cermin, cermin dirinya. Baginya, sepandai orang mengolah kata untuk memberi pengertian tentang kata 'cinta', sungguh itu sekedar pelarian dari kebingungan menjawab semata. Cinta, sepertinya, bukan hal yang biasa. Tidak ada cinta yang biasa, menurutnya. Cinta adalah benda yang luar biasa. Dan tentu membutuhkan definisi yang luar biasa pula. Padahal seperti kataku, kegemaran ia bercermin sudah merupakan hal yang luar biasa. Apalagi usahanya untuk mendefinisikan satu kata sederhana: Cinta.

Pernah suatu kali Wanita memberiku selembar surat. Ia memberinya dengan sedikit tergesa. Kepucat-pucatan mukanya. Kemalu-maluan tubuhnya. Sedangkan, aku, ketika telah menggenggam suratnya, agak berkelu lidahku, bergetar tanganku. Aku takut ia memberiku surat perpisahan. Berpisah adalah hal paling rumit untuk dihadapi. Sama seperti ketakutanku pada kematian.

Ah, untungnya. Bukan surat perpisahan yang aku terima. Karena di dalamnya hanya ada tiga kata, kelihatan tertembus dari luar kertasnya. Bila surat perpisahan, pasti Wanita akan berpanjang-panjang menuliskannya. Alasan-alasannya bila ingin berpisah akan ia tulis semua. Sedetil-detilnya. Dan untunglah, hanya tiga kata di surat itu. Leherku sedikit longgar, sedikit lebih lega. Aku tahan keinginanku membaca surat itu di depan Wanita, yang kini cuma menunduk malu, mungkin. Tentu, membaca di depannya akan menjadi sangat riskan. Wanita tak mau ditanyai. Padahal dengan kuterima surat itu, akan ada beribu kunang-kunang berlampukan pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Aku harus bertahan. Harus bertahan untuk tetap diam.

Ya, alam semesta ini jauh lebih sempit daripada alam kosmik imajinasinya di depan cermin. Wanita mampu melesat ke mana ia suka, ke mana ia mau. Dunia dalam cerminnya mampu menembus segala. Tak ada surga-neraka. Tak ada nyata-gaib. Tak ada langit-bumi. Tak ada hidup dan…mati. Hal-hal itu adalah hal kecil bagi dunia kosmik buatannya. Dunianya benar-benar jauh lebih luas. Seluas usahanya untuk mengartikan sebuah kata sederhana: Cinta.

Wanita pergi.

Dan aku sendiri sibuk mengartikan tiga kata dari isi suratnya.

PNDX’2007
Diselesaikan oleh PNDX’2008
21 April 2008



Senin, Juni 16, 2008

Akhir Pentas


Sebuah pentas. Seorang pria berbaring di sofa sembari makan kwaci. Terdengar ketukan di pintu. “Ada siapa di luar?” tanya sang pria. Pakaiannya necis dengan gaya perlente. Dasi biru dengan setrikaan yang kaku begitu lekatnya dengan kemeja warna putih yang mungkin buatan Paris, atau Bandung barangkali. Alis tebalnya begitu pas dengan tampilan trendi rambut masa kini.
Ia lanjutkan kata-katanya,
“Jawab! Siapa di luar?”
“Saya.” jawab seseorang laki dari luar.
“Saya siapa?”
“Saya.”
“Iya. Siapa?”
“Sudahlah!”
“Lho kok nantang? Punya nyali? Jawab!!”
Seseorang di pintu diam.
“Jawab!!”
“Izrail.”
“Izrail?”
“Iya. Izrail.”
Sang pria tersenyum.
“Aku telah diutus Tuhan untuk menemuimu. Ada keperluan kecil, tapi penting.”
Dengan ringannya, “Sudah bikin janji lewat sekretaris?”
“Belum.”
“Wah, ya tidak bisa. Kalau mau bertemu harus lewat sekretaris. Itu prosedur yang benar.”
“Boleh saya masuk?”
“Tentu tidak boleh, Mas. Bikin janji dulu!”
“Saya sudah disuruh segera menyampaikan sesuatu pada Anda.”
“Disuruh siapa?”
“Kan sudah dibilang; Tuhan!”
“Tidak peduli. Ini sudah ketentuan birokrasi. Prosedur harus tepat. Biar teratur. Tidak ada pengecualian.”
“Ini dari Tuhan lho.”
“Saya presiden lho.”
“Tapi ini asli dari Tuhan.”
“Bukankah saya juga asli presiden?!”
“Anda jangan main-main.”
“Ini negara berkedaulatan rakyat, Bung! Saya ini representasi rakyat. Rakyat sudah memilih saya untuk memimpin mereka. Dan Anda sedang berada dalam wilayah negara saya. Negara ini tidak berkedaulatan tuhan.”
“Anda jangan main-main!!!!”
“Ah, hidup kan permainan, Saudara! Saya masih ingat betul ketika dulu saat saya masih berumur jagung, saya sering main gundu. Saya punya satu gundu dan harus melawan beberapa gundu lain milik kawan saya untuk bisa memperebutkan satu lubang. Kalau perlu saya harus menyingkirkan gundu lain jauh-jauh. Bila gundu saya lebih dulu masuk lubang, ada dua keuntungan yang bisa saya raih; satu, rasa bangga dan dua, gundu-gundu yang kalah. Keduanya akan segera saya masukkan ke dalam saku dada. Dan permainan pun diulang kembali. Seperti itulah hidup.”
“Maaf. Saya harus segera masuk.”
“Tidak boleh! Lewat sekretaris dulu! Atau besok kau datang lagi lebih pagi. Lalu bikin janji.”
Tiba-tiba sang presiden sontak kejang-kejang. Tubuhnya menggelinjang panjang. Ia terkapar. Habis.
Sambil terkikih, Izrail berujar, “Enak saja menyuruh besok datang lagi. Besok itu Sabtu, tahu?!”. Tepuk tangan penonton menggelora panjang.


Yogyakarta, 29 April
PNDX’2008

Mata Kelana

Aku melawat di kedalaman matamu
lewat musim yang kehilangan doa-doa
Manik-manik di matamu itu
yang membikin mataku mengelana
mencarimu dalam bising senja
dan senyap di paginya
Aku banjiri jantungku dengan ceritamu
di malam yang anggun
dan butir nyala unggun
Aku berjejal kembali
mengitari waktu yang kau sihir
menjadi aliran bintang gemintang
Kutemukan diriku tergayut pada cakrawalamu
yang tercabik-cabik sembari mengusap-usap
kau punya jelita, mengais-ais kau punya gelisah
Kuselami fajar di matamu
dari waktu yang kusepuh sampai penuh
Kudarahi namamu dalam mimpi-mimpi
sebelum habis gerimis di dada ini

Ooh..Kapan bisa ku tiba?
Biar ku duduk tenang di dekatmu
Sampai manakah balada yang akan ku lewati?
Dan mungkinkah itu berujung pada
matamu yang berkunang s'ribu itu?

Ooh..mata kelana, mata yang penuh cinta!
Mungkinkah dirimulah
tulang rusukku yang tertinggal?


PNDX'2007

Minggu, Juni 08, 2008

UMA

Namanya Uma..
Gadis luar biasa dengan nama yang biasa..
.
.
.
Ia tidak hidup sebagai Batari... Tidak...
Ia dikutuk menjadi reksasi..
Dan selamanya Uma adalah simbol cercaan..
.
.
Uma lahirkan Kala..
Dan Kala adalah aku...
.
.
.
Yang akan menemuimu...
mendekatimu...
menghadangmu...
dan memakanmu...


Dengan cara yang biasa...


PNDX'2008