Rabu, Desember 09, 2009

Retrospeksi (Drama Anak)

RETROSPEKSI

Drama Anak oleh Abizar PeA



***


PANGGUNG DIISI DENGAN BANGKU PANJANG. BEBERAPA BUKU DAN PENSIL TELAH DISIAPKAN DI PANGGUNG BAGIAN BELAKANG, TETAPI TIDAK TERLIHAT.

TETABUHAN GAMELAN LAMAT-LAMAT MULAI TERDENGAR. SEORANG PENARI MASUK, LAMBAT JUGA GERAKANNYA, MENGIKUTI IRAMA GAMELAN. BEBERAPA ORANG YANG SEDARI TADI TELAH BERADA DI PANGGUNG MULAI MEMPERHATIKAN. SEMUA TERKESAN TERHADAP KEGEMULAIAN, KELINCAHAN, DAN KEKUATAN PENARI. SETIAP DETAIL GERAKANNYA DIPANDANG SEKSAMA. KADANG ADA SORAKAN KOMPAK YANG RIUH-RENDAH.

Beberapa Orang:
Wah….
Lho?
Lhaaaaa…
(TEPUK TANGAN)
(BERSUIT)
Amboiiii….
Luar biasa…

Seseorang:
Biasa saja yang ini.

Seseorang:
Husshh! (MENUTUP MULUTNYA DENGAN TELUNJUK)

Beberapa Orang:
(TERTAWA)
Itu…itu…
Waaaahhh…
Woooowww…
Lucu ya?!

Seseorang:
Bukan begitu?!

Seseorang:
Seharusnya bagaimana?

Seseorang:
Begini.
(MEMBUAT GERAKAN BREAKDANCE YANG LUCU)

Beberapa Orang:
(MENERTAWAKAN)
Bukaaannn…!!!

TAK LAMA KEMUDIAN, TOKOH BAPAK TUA MASUK. BERDEHEM, MENUNJUKKAN KEWIBAWAANNYA. BEBERAPA ORANG TADI SALING MENDIAMKAN. SI PENARI JUGA DIAM, LALU BERGABUNG DENGAN BEBERAPA ORANG.

Seseorang:
Awas!

Seseorang:
Kenapa saat ini kita tak dapat merasakan angin kedatangannya. Biasanya…

YANG LAIN MEMOTONG.

Beberapa Orang:
Hussh!! Jangan ngomong yang tidak-tidak.

Seseorang:
Kenapa?

Beberapa Orang:
Pokoknya, hussshhh…!!!

Seseorang:
Sudah aku bilang hush! Kamu juga ikut hush!!

Seseorang:
Hush!!

Seseorang:
Bukan begitu maksudku!

Seseorang:
Lalu? Apakah aku harus…

YANG LAIN MEMOTONG.

Beberapa Orang:
Husshh!!

BAPAK TUA MEMANDANG TAJAM SEKITAR, TERMASUK PENARI DAN BEBERAPA ORANG.

Bapak Tua:
Sudah saya peringatkan. Kalian tetap saja tak menurut.

Seseorang:
Tapi, kami hanya…

YANG LAIN MEMOTONG.

Beberapa Orang:
Husshh!!

Bapak Tua:
Di sini bukan tempatnya hal-hal beginian. Di sini hanya untuk…

YANG LAIN MEMOTONG.

Beberapa Orang:
Bersenang-senang! (TERTAWA. TAPI KEMUDIAN TERSADAR, SALING MENDIAMKAN LAGI.) Sssttt…sssttt..ssttt!!

Bapak Tua:
Buka halaman Aljabar!

BEBERAPA ORANG BERBISIK-BISIK. PENUH TANDA TANYA.

Seseorang:
Bukankah Bapak pengajar Ilmu Sosial?!

Bapak Tua:
Bapak juga pandai berhitung.

Seseorang:
Bapak lihai main kerawitan?

Beberapa Orang:
(KAGUM)

Bapak Tua:
Tentu!

Seseorang:
Hafal pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945?

Bapak Tua:
Hanya pasal tentang sumpah presiden yang tak hafal.

Beberapa Orang:
(KAGUM)

Seseorang:
Ejaan yang disempurnakan?

Bapak Tua:
Kau ingin tanya apa..segera Bapak jawab.

Beberapa Orang:
(KAGUM)

Seseorang:
Menari?

Bapak Tua:
Tubuh Bapak terlalu ringkih untuk menari lagi.

Beberapa Orang:
(KAGUM)

Seseorang:
Lalu, kenapa selama ini Bapak tidak menunjukkannya?

Bapak Tua:
(TERTAWA. YANG LAIN HERAN.)
Kalian tahu, apa yang sudah kalian lakukan tadi?

TIBA-TIBA SEMUANYA TERTAWA LEPAS, TERMASUK BAPAK TUA.

Seseorang:
Ternyata kau juga pandai bermain drama!
Menjadi seorang yang sudah tua pun kau lihai menirukannya!
Aku paling suka saat kau mengatakan pandai kerawitan!

Seseorang yang tadi berlagak Bapak Tua:
(TERTAWA) Kalian juga lebih pandai berpura-pura takut dan penasaran.
Selain itu, aku tak pernah tahu bagaimana cara bermain gamelan. Melihat alat-alatnya pun tak pernah.

SEMUANYA TERTAWA LEPAS.

Seseorang yang tadi berlagak Bapak Tua:
Coba lihat yang ini!
(LALU MEMPERAGAKAN BEBERAPA GERAKAN PANTOMIM)

Beberapa Orang:
Wah….
Lho?
Lhaaaaa…
(TEPUK TANGAN)
(BERSUIT)
Amboiiii….
Luar biasa…

Seseorang:
Biasa saja yang ini.

Seseorang:
Husshh! (MENUTUP MULUTNYA DENGAN TELUNJUK)

Beberapa Orang:
(TERTAWA)
Itu…itu…
Waaaahhh…
Woooowww…
Lucu ya?!

Seseorang:
Bukan begitu?!

Seseorang:
Seharusnya bagaimana?

Seseorang:
Begini.
(MEMBUAT GERAKAN PATAH-PATAH YANG LUCU)

Beberapa Orang:
(MENERTAWAKAN)
Bukaaannn…!!!

SEMUA TERTAWA LEPAS.

AKAN TETAPI, TAK LAMA KEMUDIAN, SALAH SATU DARI MEREKA TERKESIAP KAGET. DIA MEMANDANG JAUH, DIIKUTI YANG LAIN.

Seseorang:
Ada apa?

Seseorang:
Sepertinya kita harus mempersiapkan peralatan kita?

Seseorang:
Beliau datang?

Seseorang:
Tepat sekali.

Seseorang:
Pakai baju apa beliau hari ini?

Seseorang:
Kemeja merah. Ada garis hitam di sakunya. Kerah bajunya begitu kaku, melekat pada dasi panjang yang sedikit kusut pada lipatan ujungnya. Sepatunya… Sepatu itu! Begitu mengilat! Sepertinya semir yang beliau gunakan bermerk internasional!

Seseorang:
Bagaimana dengan tatanan rambutnya?

Seseorang:
Seperti biasanya, tetapi kali ini juga terlihat lebih mengilap! Kacamatanya juga seperti yang beliau gunakan kemarin, hanya kali ini beliau turunkan sedikit, hampir mengenai ujung hidungnya.

Seseorang:
Yang ia bawa?

Seseorang:
Buku catatan hitam besar. Masih baru. Aku tahu, dua hari yang lalu beliau mengeluh karena tidak ada lagi sisa kertas pada buku catatannya yang lama. Selain itu, masih seperti biasa, kantung plastik hitam. Kantung plastik yang tak pernah kita tahu isinya.

Seseorang:
Apa lagi?

Seseorang:
Sebentar.. sebentar… Aku tunda dulu menjawab pertanyaan kalian. Sesuai saranku barusan, kita harus segera menyiapkan peralatan kita.

SEMUANYA MERANGSEK MENUJU PANGGUNG BAGIAN BELAKANG, MENGAMBIL BUKU DAN PENSIL, LALU DUDUK BERJAJAR DI BANGKU.

(Bersambung)


Gresik, 15 April 2009
PNDX’2009

Sabtu, September 12, 2009

Kupanggil Namamu

Sambil menyeberangi sepi,
Kupanggili namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengar?

Malam yang berkeluh kesah
Memeluk jiwaku yang payah
Yang resah
Karena memberontak terhadap rumah
Memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala

Sia-sia kucari pancaran matamu
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa
Sia-sia
Tak ada yang bisa kucamkan
Sempurnalah kesepianku

Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi
Dan duabelas ekor serigala
Muncul dari masa silamku
Merobek-robek hatiku yang celaka

Berulangkali kupanggil namamu
Dimanakah engkau wanitaku?
Apakah engkau sudah menjadi masa silamku?
Kupanggili namamu.
Kupanggili namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan hal-hal yang besar saja.

Seribu jari masa silammenuding kepadaku.
Tidak.
Aku tak bisa kembali.
Sambil terus memanggili namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang membukakan diri padaku
Penuh.
Dan prawan.
Keheningan sesudah itu sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku.
Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.

WS Rendra
(Sajak ini sengaja dimuat karena -ternyata- sama dengan apa yang kualami saat ini. 2 jam setelah reuni alumnus SD Muhammadiyah 2)

Dalam Hujan dan Kuncup Matahari

1209
untuk RS


Selalu saja ada ingatan yang raib
Ditelan hujan dan beberapa helai kuncup matahari
Kau duduk, melipat tanganmu di atas tanganmu
dan kita saling bertatap, tanpa dosa, atau pun gerah dan dusta.

Kita hanya diam
Diam yang berhujan, dan bermatahari
"Ayo! Lekaslah bersatu pandang!"
"Biar jalan kita sama, walaupun berbatu dan berbeda!"

Aku mencintaimu..
Dan tak pernah sadar, di uratku terselip namamu..
Di namamu kutancapkan harapku...
Dalam hujan, dan kuncup matahari...

PNDX'2009

Sabtu, September 05, 2009

Dan Dusta, Dan Dusta

"Een nacht vol leugens..."

Dan dustamulah kini mendengkur
Mengukur hatimu berjarak pada sukmamu
Siapa yang punya dustamu, dan dustaku

"Geloof me!!" teriakmu
"Bevroreen!" teriakku

Bukankah itu dusta, dan dusta...

Senin, Agustus 31, 2009

Tuhan, Aku Cinta Padamu (Sajak Terakhir WS Rendra)

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra, 31 Juli 2009
Mitra Keluarga

(Sajak ini merupakan karya terakhir Rendra ketika beliau terbaring di RS Mitra Keluarga, Jakarta)

Minggu, Mei 17, 2009

Hajar

Hajar berdiri melangit ketika jari-jarinya memijit punggung telapaknya.
Ia resah. Pagi sudah sedemikian imsak.
Perutnya membuncit. Pinggangnya bergetar.

Hajar tengak-tengok kanan-kiri.
Hajar mondar-mandir sana-sini.
"Tenang, tenanglah!"
Ia tengok ke atas. Tak ada matahari.

Ismail merengek. Menendang-nendang.
"Mukjizat!!"


pndx'2009

Kecuali Ia

Meluncurlah matamu yang berair.
Tatkala tak ada jarak, makin rapat pula batu-batu yang sangsi.
Kalau matamu pendek itu lekat, ketahuilah!
Tak ada yang baka!
Tak ada yang ada!
Kecuali Ia.

Kembalilah, Wahai Perantau-perantau!
Menyanyilah, Wahai Pelantun-pelantun zikir!
Telah dicukupkan atas kita, tubuh kita, hati kita!
Tempuhlah jalanmu kemari...
Aku rindu..aku rindu...

Kecuali Ia.. Kecuali Ia.. Tak ada lagi ilah...


pndx'2009

Sabtu, April 04, 2009

Surat dari Penyair (Drama Pendek)


Naskah Drama
SURAT DARI PENYAIR
(Diilhami dari Kehidupan Chairil Anwar ‘Si Binatang Jalang’)
Oleh ABIZAR PeA

Tokoh:
1. Bapak
2. Ibu
3. Ida, anak Bapak dan Ibu
4. Mirna
5. Soraya
6. Suara dari Luar

***

PANGGUNG BERLATAR RUANG TAMU. MALAM. ADA MEJA DAN BEBERAPA KURSI. ADA SEMUG TEH DI ATAS MEJA YANG DI SAMPINGNYA SEBUAH RADIO LAMAT-LAMAT TERDENGAR LAGU KERONCONG. ADA SEPASANG SEPATU DAN KAIN LAP TERGELETAK DI DEPAN.
IDA MASUK SAMBIL MEMBACA SECARIK KERTAS.

Suara dari Luar:
Sayangku mesra. Dari yang satu ke yang lain, adik, selangkah demi selangkah!
Jika di perjamuan, sekarang kepala hidangan!
Tapi selembar dari buku harian tidak akan memberi kelengkapan,
Ida tentu mengerti! Jadi tertegun-tegun juga aku sebentar memikirkan tarikan-tarikan tepat jitu supaya dapat adik kesan yang penuh-pasti. Dapatkah Idaku menerka apa yang terbayang dengan terang-menyilau di mataku, ketika menuliskan baris-baris ini? Dapat? Kolonel Yamasaki, Ida!
Perwira-satria dari Attu! Aduh, terus bersatu jiwa dengan beliau ini. Penjelmaan citaku memang!
Lihatlah, manisku, dalam pengabdiannya yang meningkat setinggi-tingginya terhadap J.M.M. TENNO HEIKA, Nusa dan Bangsa, dalam perasaannya yang telah mencapai ujung dan puncak, maka kukira sebagian besar mesti terselip tenaga hidup yang hebat berkobar-kobar, sehingga diteruskannya dalam mati
Ida! Vitalisme.
Tenaga hidup! Tenaga hidup!
Mata Ida bertanya, kulihat. Kalau-kalau vitalisme ini mungkin diresapkan dalam seni? Mengapa tidak, adik. Bahkan sifat ini tidak mungkin dihilangkan atau ditiadakan.
(Ch. Anwar, Pidato Chairil Anwar 1943)

TIBA-TIBA BAPAK KELUAR. MEMAKAI PAKAIAN SEADANYA.

Bapak:
Baca apa, anak gadis? Seriusnya.

Ida:
(KAGET. MENYIMPAN KERTASNYA DI BALIK PUNGGUNG.
DUDUK DI KURSI)

Bapak:
Kenapa diam? Pasti ada yang kau pikirkan? Ceritalah!
(MENUJU KURSI, DUDUK. MENGAMBIL MUG DAN MEMINUM TEHNYA. MENGELUARKAN BUNGKUS ROKOK. MENGAMBIL SEBATANG DAN MENYULUTNYA)
Hmm.. Masih berapa lama kau akan diam?

Ida:
(BERDIRI KE DEPAN PANGGUNG. TETAP BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN KERTAS DARI BAPAK. AGAK BINGUNG)

Bapak:
Anak itu memang luar biasa. Jago berkata-kata. Tulisannya unik dan, tentu, lain.
Tapi tetap saja dia pemuda yang aneh. Dan kurang ajar.

Ida:
(SEDIKIT TERTEGUN. TERSINGGUNG, LALU KELUAR PANGGUNG)
IBU MASUK, BERPAPASAN DENGAN IDA. IDA MENGHINDAR DAN TERUS KELUAR. IBU MENGHAMPIRI BAPAK. DUDUK DI DEKAT BAPAK.

Ibu:
Masih?

Bapak:
Seperti kemarin-kemarin.

Ibu:
Tak ada perkembangan?

Bapak:
Sama sekali.

Ibu:
Bicara?

Bapak:
Nyaris. Tapi pun juga seperti kemarin.

Ibu:
Dia tak tahu apa yang dia tunggu.

Bapak:
Tak tahu siapa. Tak tahu kapan. Tak tahu di mana pula.

Ibu:
(MENGAMBIL MUG DAN MEMINUM TEHNYA)

Bapak:
(MENYERGAH) Hei, itu teh Bapak!

Ibu:
Besok bikin pakai tanganmu!

Bapak:
(URUNG. MEMATIKAN ROKOK)

Ibu:
Kadang-kadang Ibu punya sangka Ida tertekan. Kadang pula Ida terlihat menikmatinya.

Bapak:
(BERDIRI. MENUJU SEPATU DI DEPAN PANGGUNG. MENGELAPNYA SAMBIL JONGKOK) Ini harus dipastiken. Malah harus dari dulu. Kita terlambat. Ida telanjur cinta. Tapi dia pun tak pernah omong kalau mempunyai percintaan. Ida telanjur memilih untuk menunggu.

Ibu:
(MEMATIKAN RADIO) Lalu?

MIRNA DAN SORAYA DATANG TERGESA-GESA. BAPAK DAN IBU KAGET. LAMPU MATI

Suara dari Luar:
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
(Ch. Anwar, Merdeka)
LAMPU HIDUP.

Ibu:
Siapa saudari?

Mirna:
Mirna.

Soraya:
Soraya.

Mirna:
Kami dari Jakarta.

Soraya:
Kurang lebih begitu.

Mirna:
Kami orang baik-baik. Tak pernah nyolong apalagi tidur sama tuan-tuan pembesar.

Soraya:
Pernah juga hampir diperkosa.

Mirna:
Kami bukan Cina. Jawa tulen.

Soraya:
Tapi saya punya ibu orang Palembang.

Mirna:
Kami ber...(DIPOTONG OLEH BAPAK)

Bapak:
Cukup...cukup... Remaja sekarang suka yang berlebihan.
Ceritaken maksud apa kalian datang?

Ibu:
(MENYERGAH) Sebentar.. sebentar... (MENDEKATI MIRNA DAN SORAYA)
Silakan duduk dulu. Kami juga tahu tatacara menerima tamu yang baik.

MIRNA DAN SORAYA DUDUK.

Ibu:
Minum apa? Teh? Kopi? Hangat? Panas? Bagaimana dengan takaran gulanya?
Atau mau pakai gula Jawa?

Bapak:
Bu, jangan ikut berlebihan!

Mirna:
Tuak!

Soraya:
Saya bir!

Bapak:
(MENDENGAR ITU, KAGET)
Setan!!

Ibu:
(MENGERNYIT) Kami tak punya minuman semahal itu.

Mirna:
Anda bilang tuak mahal?

Ibu:
(DIAM)

Bapak:
Ibu, sudah hampir waktunya! Cepat bikinken! Air gula saja! Dua gelas!
(MENYALAKAN RADIO LAGI. MEMINUM TEH. MENYULUT ROKOK LAGI. KE DEPAN PANGGUNG, MENGAMBIL SEPATU. KEMBALI KE KURSI. MEMASANG SEPATU)
IBU KELUAR.

Bapak:
Maafken bila saya kurang punya sopan. Beberapa puluh menit lagi, saya harus berada di tempat kerja. Saya ulangi. Ceritaken maksud yang kalian punya!

Mirna:
Ida.

Bapak:
Ida siapa?

Mirna:
Ada berapa nama Ida di kampung ini?

Bapak:
Baiklah. Teruskan!

Mirna:
Anda tahu penyair itu.

Bapak:
(DIAM SAMBIL MENERUSKAN MEMASANG SEPATU)

Soraya:
Kami ada perlu dengan anak Tuan.

Bapak:
(AGAK ACUH) Ibu! Lekas kau ambil baju Bapak pula! (BERTERIAK PADA IBU DI LUAR)

Soraya:
Tuan, kami ada perlu dengan Ida.

Bapak:
Ibu, kau pilihkan yang punya warna gelap! Sepertinya aku akan berkotor-kotor hari ini.
(MASIH AGAK ACUH. KESULITAN MEMASANG SEPATU)

Mirna:
Kami punya waktu sedikit.

Bapak:
(DIAM)

IBU MASUK MEMBAWA DUA GELAS AIR GULA DI NAMPAN DAN BAJU YANG TERSAMPIR DI BAHUNYA. MENDEKATI MEJA. MELETAKKAN GELAS DI SITU. MENDEKATI BAPAK. BAPAK BERDIRI. IBU MEMASANGKAN BAJU PADA BAPAK.

Mirna:
(BERDIRI) Maaf, Tuan Nyonya! Mungkin agak sedikit buruk kedatangan kami tadi. Tapi tadi juga kami telah berkata bahwasanya kami orang baik-baik dan punya maksud baik. Sudilah kiranya Tuan Nyonya beri waktu sedikit buat kami. Kami bawa kabar penting.

Soraya:
(BERDIRI) Tuan Nyonya, seperti halnya sebuah drama. Cerita kehidupan yang enak dinikmati itu yang punya masalah yang memuncak, klimaks. Tapi ini lain, Tuan Nyonya. Masalah satu belum sampai pada klimaks, sudah muncul masalah yang lain. Kami tak pernah mencapai puncak, menggantung. Sudah barang tentu kami selalu tak punya penyelesaian. Kami punya banyak harap pada Ida, anak gadis Tuan Nyonya. Ida adalah harapan penyelesaian drama tragedi kami. Terutama penyair itu.

Ibu:
Ceritakanlah!

Soraya:
Maaf, Nyonya. Hanya Ida yang boleh mendengar.

Bapak:
Kami orangtuanya! (MENGHARDIK)

Ibu:
Silakan duduk kembali (HALUS) Diminum dulu airnya.

MIRNA DAN SORAYA DUDUK. MEREKA BERTATAPAN.
KEMUDIAN MINUM AIR YANG DISAJIKAN.
SEKEJAP ITU PULA, IDA MASUK SAMBIL MASIH MEMBAWA KERTAS TADI. SERENTAK MIRNA DAN SORAYA BANGKIT BERDIRI LAGI.

Mirna & Soraya:
Ida??
MIRNA DAN SORAYA MENDEKATI IDA. IDA AGAK TAKUT.
BAPAK DAN IBU HANYA DIAM.

Mirna:
Benar kau Ida?!

Soraya:
Penyair itu, Ida!

Mirna:
Gawat!

Soraya:
Ia disiksa!

Mirna:
Opsir Shimitsu!

Soraya:
Berdarah-darah!

Mirna:
Tapi masih sempat tertawa!

Soraya:
Kau harus menemuinya! Ia ingin kau datang!

Mirna:
Kau pasti juga telah tahu betapa mengerikannya ruang interogasi!

Soraya:
Ruang interogasi Jepang lebih kejam, Ida!

Mirna:
Ayo, cepatlah! Ikut kami!

IDA MENDEKATI BAPAK DAN IBU.

Ibu:
Pergilah, Nak! Jemput ia!

Bapak:
(DIAM)

Ida:
Biar dia mati saja!!
(LANGSUNG KELUAR)

YANG LAINNYA HANYA TERTEGUN, DIAM.

Bapak:
Akhirnya ia bicara juga, Bu.

Suara dari Luar:
Begini! Lihat!
Soal keindahan soal yang yang hingga kini masih dalam perbincangan sebenarnya. Bagiku keindahan, Ida, persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup. Ini tentu penerangan yang pendek-tegas saja. Tapi ada vitalitas lain. Dengan keindahan tidak ada samanya. Dari ujung ke pangkal bandingannya. Karena vitalitas adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam mencapai keindahan. Dalam seni: vitalitas itu chaotisch voorstadium, keindahan kosmisch eindstadium.
Tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik. Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak-bertepi, seniman adalah dari hidup yang melepas-bebas.
Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, bersendiri!
Bukan, bukan, sekali-kali bukan! Mungkin yang begini akibatnya mati sendiri, dan tak ada yang menguburkan. Hanya kemauan, inti hidup, itu yang merdeka.
(Ch. Anwar, Pidato Chairil Anwar 1943)

***Selesai?***

Yogyakarta, 21 April 2007

PNDX’2007

NB: Naskah drama ini disiapkan untuk Teater Terjal dalam acara
Peringatan Chairil Anwar oleh Mahasiswa Sastra Indonesia UGM
pada Jumat, 27 April 2007 di Fak. Ilmu Budaya UGM.

Sabtu, Januari 17, 2009

Robbis rohli shodrii wa yassirli amri wa ahlul u'datammil lisaani yaf qohuu qoulii...
Allahummataf 'alayya futuhal 'arifiina bi hikmatika wansyur 'alayya yaa dzal jalaali wal ikrom..

Dia datang seperti gegar kekasih yang tiba dengan tiba-tiba.
Dia datang seperti guruh perindu yang tak tahu kapan jumpa, kapan sua.
Dia datang di lubang angin, di pagi yang dingin.
Di batu mati, di hati beku.

Yaa.. Yang Maha Pemberi Kemungkinan.
Yaa.. Yang Maha Penakluk Kebosanan.
Yaa.. Yang Maha Pembagi Keriangan.
Matilah angkara murka!
Matilah dosa nestapa!
Bunuh semua yang merusak dunia!

Yaa.. Yang telah dituturkan musafir dengan nyanyian dan kerinduan.

Tentang Dia yang menggugus langit bumi pada masa yang enam.
Pemilik singgasana atas air yang gemar memberi ujian.
Yang menimpakan bencana dan tak ada yang mampu menghalangi.
Empunya ketetapan yang pasti.

Yaa.. Yang telah disebutkan dalam lembar kisah pujian dan teladan.

Tentang ciptaan yang dibentuk dalam keadaan lemah.
Golongan yang benar-benar merugi.
Yang berikrar teguh sekaligus merusaknya.
Pemilik dusta dan kebinasaan.
Dunia adalah kematian. Kehidupan nanti akan menjelang.


Allahumma yaa Allah... isra'il laknatullah!!!

CAT

Di atas cat yang basi tertumpah segelas api menyala-nyala secerah pagi, secerah api yang pagi, yang mati dalam anggunmu yang—kalau tidak salah—telah terbeli oleh warna-warni yang riuh dan sekejap menjadi plastik-plastik yang basah dan bau yang menusuk-nusuk, bau cat yang basi, bau pagi yang mati, dan keanggunan yang telah pergi terbeli. Padahal aku kedinginan.