Jumat, Desember 26, 2008

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lelara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami

Ke Pelabuhan

buat Afith, kawan serahim, biar dia cinta pelabuhan

“Adik, ayo ke pelabuhan!
Nelayan-nelayan sedang memanen laut kita.
Riak-riak perahunya sudah mengendap di dermaga.

Coba tajamkan hidungmu, Dik!
Amis yang sudah lama kita rindukan.
Hmm… Tongkol dan tengiri sudah merangkapi hidungku. Hidungmu jugakah?

Ayo, Adik! Nelayan tak akan menunggu siang, tak akan menunggumu.
Kita harus pegang itu ikan-ikan hasil mereka.”

“Cak, sudah susah berjubal kita menuju pelabuhan.
Jalan-jalan sudah tertutup palang tanda tak boleh masuk.
Corong-corong istighotsah sudah lebih nyaring di telinga.”

Aku diam. Adik diam. Ikan-ikan diam.
Telak suara kami dengan srempetan sandal para santri.

PNDX’2008

Surat

Istimewa utk yg teristimewa: n'Dut!!


Ia menjinjing surat itu. Begitu terbimbingnya hingga tak ada satu pun bagian yang terlipat saat ia masukkan ke sakunya.
“De, ada terlalu banyak hal yang masing-masing dari kita tak dapat, bahkan tak mungkin mampu tahu. Ini bukan lagi keniscayaan..”
“Lagi-lagi keniscayaan.” sindirku memotong dialog siang itu.
Ia duduk bersila menyandar di dinding. Padahal betul-betul dingin dinding itu. Aku lebih merasa aman dengan tidak menyandar, sekaligus tidak langsung berhadapan dengannya.
“Diam dulu! Seminggu ini aku lagi gandrung dengan kata ’niscaya’. Dua minggu yang lalu, kau pun telah tahu, aku gandrung kata ’mungkin’. Seperti ada relasinya. Tapi lebih dari itu, kau menganggap dua kata itu layak disebut cermin.”
“Cermin?”
“Aduh.. Hentikan memotong omonganku! Itu kebiasaan buruk.”
Begitulah. Rawe tak suka perkataannya macet di jalan. Ia ingin sampai dulu. Baru memarkir mulutnya untuk mendengarkan mulut yang lain lewat. Ia pendengar yang baik. Dan ia juga pembicara baik, meski seringkali berlebihan. Rawe. Sesuai namanya, ia payah. Pemuda yang payah-kepayahan. Ia mudah capai. Tapi tak pernah capai bila nyerocos. Must go on. Monolognya harus terus berjalan. Bila perlu memutar bila memang agak buntu.
“Mungkin dan Niscaya sepertinya telah ditakdirkan untuk aku cintai dua minggu pertama bulan ini. Aku prediksikan minggu depan aku akan menyukai kata Tuhan.”
“Eitss… Kali ini mau nggak mau aku harus memotong.”
“Why?”
Aku diam.
“Jawab!”
“Sebentar! Aku sedang mengingat kapan terakhir kali kau menyukai kata Tuhan.”
“Februari minggu ke-4.”
“Ahh…! Itu dia! Dua bulan lalu!
“Memang! Tapi beda.”
“Kok?”
“Saat itu aku suka tuhan. Dengan t kecil.”
“Sekarang?”
“T besar!!”
“Tapi tetap kecil. Perihal ukuran kan?!”
“Bukan. Mengenai konsep. Kali ini dengan T besar. Coba berapa kali Tuhan dibesar-besarkan umat-Nya setiap harinya?”
“Sering.”
“Terlalu sering, bukan?!”
“Surat itu?”
Rawe diam. Kini dia seperti menggigil. Aneh. Rambutnya ia sepoi sedikit ke barat. Melawan arus angin. Ia gemeretakkan jari-jarinya. Suaranya cukup mengganggu. Apalagi tak lama itu dengus napasnya memanjang. Lidah itu kini berhenti. Kelunya hampir menyudut di bibirnya. Ah… Kini ia menerawang. Terawangannya tak dapat jauh. Langit atap membatasi mata sipit itu. Ia bangkit. Membetulkan kolor celana dan (sekali lagi) rambut berkondisioner itu, kali ini agak kencang. Melajulah ia ke jendela. Memandang keluar sebentar. Lalu dibikin tutup olehnya. Grendelnya mengencang. Ia tarik paksa. Berhasil!
“Deka.”
Ia memanggil namaku, sering ia begitu, tak hapal dengan nama lengkapku. Padahal aku gandrung dengan nama lengkapku.
“Ratna.”
Anjing! Ia menyebut nama itu. Sesiangan ini akan terasa panjang karena tak ada yang bisa kukerjakan, kecuali bikin dengar ocehan hatinya. Mafhumlah! Kalau ada kode kata ’ratna’ pada permulaan ia bicara, maka seolah hari bertambah dua jam tiap menitnya.
“Surat itu dari Ratna.”
“Telegram?”
“Pos. Kilat.”
“Teruskan!”
“Belum kubaca. Sama sekali. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tak sangka akan secepat ini.”
Aku memilih diam. Ia keluarkan surat itu. Lebih hati-hati daripada masuknya.
“Belum kau buka?”
“Belum.”
“Bodoh!”
Rawe diam.
“Siapa yang memberikannya padamu?
Rawe diam, tapi aku tahu jawabnya.
Rawe menarik panjang dadanya, napasnya, dan beberapa persendian kaki-tangannya.
“Tadi pagi aku menerimanya. Dan, tentu, tiba-tiba pagi tak pagi lagi. Kenapa sekian lama?!”
”Maaf... Aku potong... Buka saja dulu! Baca! Jangan menduga-duga! Tak baik.”
Matanya menyergap ke mataku. Lalu sekilat-kejap menuju ke surat itu. Kini tangannya yang bekerja. Cuih! Gesit amat tangan itu. Dan....
”Surat kosong?! Ratna bersenda denganmu.”
”Bukan!” Ia menyalak padaku. Matanya meruncing. ”Ini pertanda tak ada lagi diriku di matanya.”
Sore ini terasa begitu terkesiap. Matahari tenggelam.
Gunungkidul, 16-17 Agustus 2008

Minggu, Desember 07, 2008

Rhe, Kau Kalah!

Kau sudah kalah, Rhe...
Bila kau merasa telah hampir kalah...
Camkan!!!

kurbankan kami...

......kami kurbankan apa yang Kau titipkan pada kami....
..inna a'thoinaa kal-kautsar; fashol li lirobbika wa an-har; inna syaaniaka huwa al-abtar.