Senin, Juni 16, 2008

Akhir Pentas


Sebuah pentas. Seorang pria berbaring di sofa sembari makan kwaci. Terdengar ketukan di pintu. “Ada siapa di luar?” tanya sang pria. Pakaiannya necis dengan gaya perlente. Dasi biru dengan setrikaan yang kaku begitu lekatnya dengan kemeja warna putih yang mungkin buatan Paris, atau Bandung barangkali. Alis tebalnya begitu pas dengan tampilan trendi rambut masa kini.
Ia lanjutkan kata-katanya,
“Jawab! Siapa di luar?”
“Saya.” jawab seseorang laki dari luar.
“Saya siapa?”
“Saya.”
“Iya. Siapa?”
“Sudahlah!”
“Lho kok nantang? Punya nyali? Jawab!!”
Seseorang di pintu diam.
“Jawab!!”
“Izrail.”
“Izrail?”
“Iya. Izrail.”
Sang pria tersenyum.
“Aku telah diutus Tuhan untuk menemuimu. Ada keperluan kecil, tapi penting.”
Dengan ringannya, “Sudah bikin janji lewat sekretaris?”
“Belum.”
“Wah, ya tidak bisa. Kalau mau bertemu harus lewat sekretaris. Itu prosedur yang benar.”
“Boleh saya masuk?”
“Tentu tidak boleh, Mas. Bikin janji dulu!”
“Saya sudah disuruh segera menyampaikan sesuatu pada Anda.”
“Disuruh siapa?”
“Kan sudah dibilang; Tuhan!”
“Tidak peduli. Ini sudah ketentuan birokrasi. Prosedur harus tepat. Biar teratur. Tidak ada pengecualian.”
“Ini dari Tuhan lho.”
“Saya presiden lho.”
“Tapi ini asli dari Tuhan.”
“Bukankah saya juga asli presiden?!”
“Anda jangan main-main.”
“Ini negara berkedaulatan rakyat, Bung! Saya ini representasi rakyat. Rakyat sudah memilih saya untuk memimpin mereka. Dan Anda sedang berada dalam wilayah negara saya. Negara ini tidak berkedaulatan tuhan.”
“Anda jangan main-main!!!!”
“Ah, hidup kan permainan, Saudara! Saya masih ingat betul ketika dulu saat saya masih berumur jagung, saya sering main gundu. Saya punya satu gundu dan harus melawan beberapa gundu lain milik kawan saya untuk bisa memperebutkan satu lubang. Kalau perlu saya harus menyingkirkan gundu lain jauh-jauh. Bila gundu saya lebih dulu masuk lubang, ada dua keuntungan yang bisa saya raih; satu, rasa bangga dan dua, gundu-gundu yang kalah. Keduanya akan segera saya masukkan ke dalam saku dada. Dan permainan pun diulang kembali. Seperti itulah hidup.”
“Maaf. Saya harus segera masuk.”
“Tidak boleh! Lewat sekretaris dulu! Atau besok kau datang lagi lebih pagi. Lalu bikin janji.”
Tiba-tiba sang presiden sontak kejang-kejang. Tubuhnya menggelinjang panjang. Ia terkapar. Habis.
Sambil terkikih, Izrail berujar, “Enak saja menyuruh besok datang lagi. Besok itu Sabtu, tahu?!”. Tepuk tangan penonton menggelora panjang.


Yogyakarta, 29 April
PNDX’2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Membacanya, mengingatkanku pada Indonesia. bagiku, Indonesia adalah negara sekuler. Aku tidak yakin Tuhan benar-benar menjadi bagian integral dari negara ini. jadi, bagaimana mungkin kita berharap bahwa Tuhan akan menjadi bagian integral dari individu2 yang ada di dalamnya. kemenangan diri hanya akan dicapai oleh kemenangan wilayah dan kemenangan wilayah hanya akan dicapai oleh kemenangan diri. keduanya sama penting. aku benci Indonesia yang mengaku berTuhan. Di sini, Tuhan hanya tinggal menjadi huruf2 T-U-H-A-N yang tidak menandai apa2.