Kamis, Januari 28, 2010

Ayo Kritik Saya!!

Pernahkan kalian merasa begitu kesepian seperti yang kini saya rasakan?… Kesepian karena kehilangan peran… Mau apa saya… Semua sudah serba rapi. Tertib. Terkomputerisasi. Tak ada lagi yang bisa dikritik…
Agus Noor: Matinya Tukang Kritik)

Senin, Januari 25, 2010

Friendster, 11 Januari, dan Petang di Pantai (Sajak Kecil untuk Putri Kecil: naz) - bagian 2

...akun friendstermu, naz.. kenapa selalu saja ada kata yang beku, kata yang--kemudian--menjadi encer..
..kau seperti Dewi Madrim, yang meninggalkan jejak kepahlawanan, dalam diri setiap Pandhawa..

"Bulbul, lihat, Bulbul.."
Gadis yang berubah jelita, berbuah angkara, angkara yang sepi dari tiap halauan haluan pola pikirmu.
Kau tahu itu menderitakan, tapi tetap saja. Kau tahu itu bak oase, tapi begitu saja.
"Ayolah, Kecil! Sayapmu bisa lebih indah dari sekarang, lebih lebar dari kata-kata bekumu, yang bertubi-tubi seperti asoka, dan beberapa helai semanggi berdaun lima di halaman.

--petang di pantai--di pantai--di pantai--
Ingat saat kita berjejer di balik runtuhan, Tamansari, memandang Yogya dari atas dan keheningan?!
Ingat saat kita pasrah mengantre di Pojok Beteng, menunggu pesanan yang basah dan tersembunyi?!
Ingat betapa takutnya kamu pada segala hal berkain dan bertali di tiap ujungnya?! (kau selalu sangka itu pocong?!)

--di friendster--akunmu yang ceria, tapi beku itu--kata-kata tak baku--
"Ayolah, Hitam! Kita tanam kemuning di kening kita. Kelak akan ada kejutan baru di tiap bangun tidurmu, di tiap pagi yang memaksa kita berharap sepanjang hari, di tiap pagi yang usil itu!"

--sejujurnya, di tiap bayang dan lukamu, ada harapan (sehingga tiap pagi kita tak terlalu sibuk)--
--dan sepantasnya, kau dapat yang jauh lebih cerah dari tiap pagi kita--


"Lihat, air di matamu berangin, dan beku!"




PNDX'2010

Friendster, 11 Januari, dan Petang di Pantai (Sajak Kecil untuk Putri Kecil: naz) - bagian 1

Yang tidur dengan enggan, dan semakin berbinar saja mata itu...
Semua tahu bahwa bintang selalu memerca terangnya...
....and the journey of...lagu-lagu sumbang dari diskotek...
lalu kau kugendong mengitari garis pantai, di petang yang santai..
...engkaulah jiwaku...

Yang takut dan segan, dengan malam, dengan malam.
Kita saling bertatap dan bermantra. Barangkali ada kabar dari negri dongeng.
"Biar lebih cepat kucari kantuk!" katamu.
"Kau tak punya kantuk, naz." kataku, "kau yang bilang lho!".

...akulah yang di setiap langkah-langkahmu...
...di setiap pertemuan kita, meski tanpa harus menatapmu...

"naz, lihat! Angin di matamu berair!!"


PNDX'2010

Jumat, Januari 01, 2010

On Yogya: Poems longing for the city's

And if i standing on afternoons at the Tugu roundabout to the west, why there's always a rush of breath. The eyes of each pedestrian following a hue old buildings, churches, fast-food restaurants, and rows of books in the window. "Mama, look at Mr. Wibawa stood watching Ki Hajar Dewantara !"...

And if half a night in Kuncen (county who were there), our knees in front of the taper of the Sunda skillet, served a glass of Coffemix, and expense pleasantries with the old exhaust retailers. Our sweat forming rows salty snack, snack what we always eat late sunset. And, in every sunset, too late we were fighting over the bathroom crowded. "I do not want to show my bathing delayed because of a leaky faucet." We live in the same house, next stand, adjacent to the rail lined panties next friend who owned a liberal ideology.

Then when the night we were in between the rows of brass parts, then of course the night will be longer, growing solemn. "Wong Jowo... Wong Jowo..." her says beside Golek Lambangsari, a scary dance for our friend's youngest. I was crowded between the gong and kempul slendro, waiting their turn push them.



pndx'2009

Atas Yogya: Sajak Kerinduan Pada Kota Itu

Dan bila siang-siang kuberdiri di bundaran Tugu menuju ke barat, kenapa selalu ada nafas yang tergesa. Mata tiap pejalan membujur mengikuti rona-rona gedung tua, gereja, restoran cepat saji, dan deretan buku-buku di etalase. "Mama, lihat Pak Wibawa berdiri memandangi Ki Hajar Dewantara!"...

Dan bila setengah malam di Kuncen (daerahku yang ada di sana), lutut-lutut kami meruncing di depan penggorengan milik si Sunda, disajikan segelas Coffemix, dan candaan basa-basi dengan pengecer knalpot tua. Keringat kami berjejeran membentuk kudapan yang asin, kudapan yang selalu kami santap jelang magrib. Dan, di setiap jelang magrib pula kami berdesakan berebut kamar mandi. "Aku tak mau acara keramasku tertunda gara-gara kran bocor." Kami hidup serumah, berjejeran, berdekatan dengan jejeran jemuran celana dalam milik kawan sebelah yang berideologi terbuka.

Lalu bila tengah malam kami berada di antara barisan wilahan-wilahan kuningan, maka tentu saja malam akan semakin bertambah panjang, bertambah syahdu. "Wong Jowo...wong Jowo..." teriaknya mengiringi Golek Lambangsari, tarian yang menakutkan bagi kawan putri kami yang termuda. Aku berjejal di antara gong dan kempul slendro, menunggui giliran menabuhnya.


pndx'2009