Jumat, Desember 31, 2010

Gresik, Riwajatmoe Doeloe: Pemanfaatan Sumber Daya Air di Gresik Awal Abad ke-19

Oleh Abizar Purnama, S.S.
           
            Syahdan, suatu hari Otong sedang santai bersepeda keliling GKB. Dari rumahnya dia meluncur cepat ke bunderan, melewati Unmuh, GKA, terus bablas tembus ke jalan menuju Alfamidi. Di perempatan itu tiba-tiba sepedanya terhenti karena ada seorang pria setengah baya mau bertanya.
Rupanya, orang itu sedang kesasar. Dia mendekat pada Otong, “Dik, dari sini kalau mau ke Gua Lawa itu lewat mana ya?”. Otong cuma garuk-garuk kepala. Ia tak tahu di mana letak Gua Lawa. Kalau pun tahu, Otong bingung setengah mati bagaimana cara menjelaskan arah jalannya. Kontan Otong menjawab, “Bapak lurus saja! Terus kalau ada orang agak tua duduk-duduk, nah.. silakan tanya sama beliau.”. Si bapak cuma melongo.
Kebanyakan di antara kita memang telah lama berada di kota ini, tapi sebagian besar itu juga masih merasa asing dengan Gresik. Kita begitu hafal dengan arah jalan di sekitar rumah kita, tapi kalau sudah ke area di luar itu betapa bingungnya. Betapa terasingnya kita.
Sahabat CIKAL, pernah tidak melamunkan pertanyaan ini: Berapa tahun ya saya tinggal di Gresik? 7 tahun? 11 tahun? Atau bahkan ada yang sudah 30 tahun lebih? Dari sekian tahun itu apa saya sudah mengenal dan akrab dengan kota tercinta ini ya?

***
Asal Usul Nama Gresik
            Gresik itu artinya apa sih? Sahabat CIKAL, terlebih dahulu kita cari tahu berbagai sumber sejarah tentang cikal-bakal penamaan kota kita ini.
            Menurut Banun Mansur, Gresik berasal dari kata qaar-syaik dalam bahasa Arab yang artinya tancapkan sesuatu. Kalimat ini merupakan perintah nakhoda kapal dari Arab kepada anak buahnya untuk menancapkan jangkar karena kapal akan berlabuh.
            Ada pula pandangan bahwa dulu bangsa Belanda menyebut penduduk asli kota ini dengan kata Girische, artinya orang-orang Giri (pada saat itu kerajaan Giri masih berdiri). Sebagaimana mereka menyebut Inlandsche untuk pribumi Indonesia (inlander) dan Hollandsche untuk kalangan Belanda.
Sedangkan untuk wilayah kotanya, Belanda menyebut dengan kata Grissee. Dari sebutan Girische dan Grissee itulah orang-orang lebih mudah mengucapnya dengan kata Gresik. Hal ini dapat Sahabat CIKAL lihat sendiri di sebuah rumah yang kini digunakan untuk usaha warung kopi di dekat Perguruan Muhammadiyah Gresik.
            Pandangan lain menyebutkan kata Giri-isa yang artinya raja bukit. Sebutan itu merupakan gelar penguasa kerajaan Giri. Hal ini juga dikuatkan oleh kutipan dalam serat Centhini, sebuah karya sastra terkenal yang terbit pada sekitar tahun 1800 dengan sebutan yang sama.
            Di lain versi, Thomas Stanford Raffles dalam bukunya History of Java menyebutkan bahwa Gresik berasal dari kata Giri-gisik yang artinya tanah tinggi di tepi laut.
            J.A.B Wisselius mengatakan bahwa Gresik sebelumnya bernama Gerwarase. Nama ini terkenal hingga tahun 1720. Kata yang mirip dengannya juga disebut di dalam Babad Gresik dengan kata Gerawasi, artinya tempat istirahat atau berlabuh.
            Selain itu, ada juga yang menyebut secara gamblang dengan kata Gresik, yaitu Prasasti Karang Bogem di Bungah. Prasasti ini memuat nama Gresik dalam bahasa Jawa Kuno: “… Hana ta kawulaningong saking Gresik warigaluh ahutang saketi rong laksa….” Artinya “… Kemudian ada seorang warga kami berasal dari Gresik seorang nelayan yang berutang satu kati dua laksa….”.
            Sebenarnya banyak sekali versi yang lain, seperti bangsa Portugis menyebutnya Agace ketika pertama kali datang ke sini tahun 1513, atau di dalam peta buatan pelayar Belanda pada awal abad ke-17 yang menyebut pelabuhan di muara Bengawan Solo, Mengare, Bungah dengan kata Jaratan (Jortan).
Selain itu, ada juga bukti prasasti di dekat makam Poesponegoro, bupati Gresik yang pertama, di kompleks makam Malik Ibrahim yang menyebut Gresik dengan nama Tandes. Sahabat CIKAL pasti tahu kalau Tandes merupakan batas Gresik dengan Surabaya. Kata ini juga diperkuat dengan peristiwa pemberian tanah oleh Raja Brawijaya kepada Nyai Tandes pada tahun 1412. Nyai Tandes merupakan ibu angkat Sunan Giri yang bergelar Nyai Ageng Pinatih. Beliau menjadi syahbandar Gresik (pemimpin pelabuhan) sejak tahun 1458 hingga meninggal (tahun 1483) dan dimakamkan di dekat pelabuhan.
            Pada dasarnya, berbagai versi yang ada merupakan cikal-bakal terbentuknya istilah Gresik untuk menyebut kota kita ini. Bukan sekadar kata yang tidak bermakna, juga bukan sekadar singkatan dari seger lan resik (segar dan bersih) atau gegere gusiken (punggungnya bersisik—karena sering terkena air laut yang mengering).
            Di lain hal, ada satu yang menarik, yaitu pada awal abad ke-15 bangsa Tionghoa yang mendarat di Gresik. Mereka menyebut kota kita ini T’se T’sun artinya perkampungan kumuh. Beberapa tahun kemudian setelah ada pembenahan kota, bangsa Tionghoa menyebut Gresik dengan kata T’sin T’sun yang berarti Kota Baru. Hal tersebut tertulis dalam keterangan Rouffaer dalam KITLV (Koninlijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde disebut juga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda) seri ke-7, V 1906, halaman 178, Leiden, Belanda.
Barangkali, meskipun belum terbukti, H. Bisri yang mengembangkan perumahan GKB memberi nama Gresik Kota Baru karena terinspirasi dari sebutan orang-orang Tionghoa tersebut.

Seperti Apa Sih Gresik Dulu?!
            Tahukah kamu?! Kabupaten Gresik terletak pada titik 7o—8o Lintang Selatan dan 112o—115o Bujur Timur. Luas wilayahnya 1.174,07 km2 yang mencakup daratan di Pulau Jawa seluas 977,8 km2 dan di Pulau Bawean 196,27 km2. Batas utara adalah Laut Jawa, selatan Sidoarjo dan Mojokerto, timur Selat Madura dan Surabaya, dan barat dengan Lamongan. Dengan demikian, wilayah Gresik jauh lebih luas daripada negara Singapura lho...
Gresik terbagi menjadi 18 kecamatan yang terdiri atas 357 desa/kelurahan. Ada 4 wilayah kelurahan yang menjadi pusat Gresik, yaitu Kauman, Bedilan, Pulopancikan, dan Desa Gapura Sukolilo. Keempat wilayah tersebut mengitari alun-alun dengan titik pusatnya dibangun tugu tepat di tengah alun-alun. Hayooo.. Siapa yang pernah ke alun-alun Gresik, tetapi tidak tahu buat apa sih dibangun tugu di sana?!
            Berdasarkan data dalam buku karya Door J. Hageman J.E.Z., Batavia Lange & Co., pada tahun 1852 jumlah penduduk Gresik sekitar 20.000 jiwa. Sedangkan, pada tahun 2009, menurut data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik, jumlah penduduknya mencapai 1.170.143 jiwa. Wuuuiiihhh… Cepat sekali tumbuhnya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini tidak terlepas dari perkembangan Gresik sebagai kota industri yang menjadi daya tarik bagi masyarakat di luar Gresik.
            Gambaran Kota Gresik, terutama tahun 1850-an, juga diuraikan dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (Ensiklopedia Hindia-Belanda). Menurut buku itu, Gresik merupakan pelabuhan terbesar di Jawa setelah Sunda Kelapa (Jakarta). Pelabuhan Gresik disinggahi banyak kapal pedagang dari berbagai negara, seperti Arab, Tiongkok, Eropa, juga dari Melayu dan Bugis. Kapal-kapal tersebut membawa berbagai barang dagangan, seperti teh, kopi, kopra, cengkih, pala, sutra, kulit, benang, dan lain-lain.
            Di tengah kota terdapat alun-alun yang dikelilingi pohon asam. Sebelah selatan, barat, dan utara alun-alun berdiri kantor bupati, gedung-gedung pemukiman orang Eropa, dan gereja kecil sebagai sarana ibadah orang Belanda. Salah satunya adalah tempat asisten residen (setingkat bupati) yang kini digunakan sebagai gedung DPRD. Sisi timur juga tinggal orang-orang Arab yang mendirikan masjid Kampung Arab dan orang-orang Tionghoa yang mendirikan kelenteng.
            Di sekitar pelabuhan berdiri kantor-kantor dan gudang. Di sana dibangun sarana militer (kini Polres), rumah bupati (bersebelahan dengan Polres), kantor pos, sekolah (SMPN 2), stasiun (belakang sekolah), pasar, apotek, menara sirene, juga rumah-rumah besar yang memiliki banyak kamar. Kamar-kamar ini sering digunakan untuk menginap para saudagar kapal.

Perekonomian Gresik Awal Abad 19
            Sejak awal Gresik sudah dihiasi hamparan tambak. Meskipun masih ditemui adanya tegal dan sawah, wilayah Gresik lebih cocok untuk dibuat lahan pertambakan. Pertambakan ini mencakup tambak garam dan tambak ikan. Keadaan demikian sudah terjadi sejak abad ke-14 pada masa Kerajaan Majapahit.
            Menurut Raffles dalam History of Java, mata pencaharian sebagai petambak ini dipilih atas saran para penyebar agama Islam. Pada zaman penjajahan Belanda tahun 1600-an, usaha pertambakan lebih dikembangkan. Bahkan, berdasarkan data yang ada, tambak di Gresik merupakan wilayah tambak terluas di Jawa hingga kini.
            Pada abad 19 perikanan dan pertambakan merupakan sektor penting bagi kehidupan warga Gresik. Pada musim kemarau sebagian besar tambak digunakan untuk untuk usaha pembuatan garam. Sedangkan, pada musim hujan dimanfaatkan untuk memelihara ikan. Ikan yang dipelihara adalah ikan bandeng. Bandeng lebih mudah dipelihara dapat hidup dalam berbagai jenis air dengan kadar garam yang berbeda, baik air asin, air tawar, atau pun air payau. Makanan ikan bandeng yang disebut klekap juga mudah tumbuh di areal tambak.
            Selama abad ke-19 Gresik memberikan sumbangan terbesar terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari P.W.A Spall, seorang pegawai Belanda, saat itu Gresik telah memiliki tambak seluas 15.399 bau (10.779,3 hektar), sedangkan di Sidayu seluas 1.972 bau (1380,4 hektar). Bau adalah satuan ukuran luas yang sebanding dengan 0,7 hektar. Untuk tambak yang memiliki jumlah produksi terbesar berada di wilayah Mengare, Bungah. Hal itu disebabkan adanya pelabuhan kecil di muara Bengawan Solo yang memudahkan penyediaan air dan pengiriman hasil ikan.
            Sahabat CIKAL, campur tangan Belanda pada sektor perikanan Gresik cukup besar. Mulai dari proses pembuatan tambak, pengerjaan tambak, hingga panen hasil. Untuk menerangkan hal itu, Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat seorang mantri tambak dan asiten mantri. Jabatan mantri dan asistennya ini dipilih dari pejabat desa setempat. Gaji yang didapat mantri sebesar 50 gulden per bulan, sedangkan asistennya mendapat 15 gulden. Keterangan: saat itu kurs 1 dolar Amerika sama dengan 2 gulden. Jadi, 50 gulden sebanding dengan 25 dolar Amerika atau untuk kurs rupiah sekarang sekitar Rp225.000,00 untuk mantri ($1 = Rp9.000,00)
            Gambaran di atas menunjukkan besarnya potensi perikanan Gresik sejak dulu. Potensi itu berkembang hingga sekarang. Oleh karena itu, Sahabat CIKAL harus ikut mendukung pelestarian dan pengembangan potensi perikanan di Gresik. Mulai dari pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan sumber daya perikanan, hingga peningkatan distribusi dan konsumsi ikan. Menurut data saat ini, Gresik memiliki 18.292,67 hektar tambak air payau, 6.998,67 hektar tambak air tawar, dan 59,18 hektar kolam.
Pada awal abad ke-19 juga, terjadi krisis di tubuh Belanda. Untuk itu, pemerintah mencanangkan berbagai perubahan besar. Seperti ketika Gubernur Jenderal Herman William Daendels memimpin pemerintahan. Mulai tahun 1808—1811 Daendels melakukan proyek pembuatan jalan dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo) melewati Sidayu, Gresik. Proyek ini mengorbankan ribuan rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja membuatnya tanpa diberi upah yang layak. Sahabat CIKAL yang pernah berkunjung ke WBL pasti melewati jalan yang dirancang Daendels ini.
            Akan tetapi, meski memakan banyak korban, adanya jalan ini membuat sendi-sendi perekonomian di Jawa, termasuk Gresik menjadi maju pesat. Proses pengiriman barang, surat, dan transportasi dari luar Gresik menjadi semakin lancar. Jalan ini dikenal dengan Grote Postweg (jalan raya pos).
            Pada akhir abad ke-19, pemerintah Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal. Oleh karena itu, dicanangkanlah politik etis. Program ini dibuat untuk membantu Indonesia dalam hal pengairan lahan pertanian (irigasi), pendidikan (edukasi), dan pemerataan penduduk (migrasi). Gresik tidak luput dari program tersebut.
            Di bidang irigasi, pemerintah membuka peluang pengembangan ekonomi. Proyek itu dilaksanakan dengan membuat sarana irigasi yang berasal dari Bengawan Solo. Proyek ini bertujuan untuk mengairi sawah-sawah yang mulai dibuat di wilayah Gresik, di samping tambak. Di antara sarana yang dibangun adalah proyek sudetan (pembelokan aliran air dengan cara membuat sungai-sungai kecil) di Desa Pelangwot, Laren sampai Sidayu dan Brondong, Lamongan. Proyek ini menghabiskan dana sebesar 15 juta gulden atau setara dengan 67,5 miliar rupiah sekarang.
            Di lain hal, pemerintah juga berencana membangun proyek lain. J.L. Pierson ditugasi untuk membuat penelitian terhadap Kali Mireng, Manyar. Pierson mengadakan penelitian besar tersebut pada kisaran tahun 1893—1897. Rencananya, Kali Mireng akan dihubungkan dengan Bengawan Solo dengan menggunakan pompa superbesar yang dibangun di Suci, Manyar. Proyek ini membutuhkan dana sekitar 17 juta gulden (sekitar 76,5 miliar rupiah sekarang).
Sekitar tahun 1897, ketika proyek siap dilaksanakan, J.E. de Meiyer yang menjabat sebagai Kepala Burgelijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) mengunjungi lokasi proyek. Anehnya, tiba-tiba tidak lama setelah kunjungan tersebut, megaproyek itu tidak jadi diwujudkan.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Van de Venter, proyek itu disusun kembali, meskipun mendapat dana yang minim, 7 juta gulden (hayo.. berapa ya?!). Pada tahun 1905 proyek ini dilaksanakan secara bertahap di Kali Mireng dan Kali Blawi. Selesainya proyek ini memang mengurangi risiko banjir pada musim hujan. Namun, ketika kemarau, air sungai menjadi asin karena mendapat aliran laut. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi pertanian.
             Sahabat CIKAL, daripada menganggur di rumah ketika liburan, ada baiknya kalian ajak ayah atau kakak untuk berkeliling naik sepeda. Kalian bisa mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sekitar kita, seperti bangunan pusat pompa air dan fasilitas air bersih yang dibangun Belanda sejak tahun 1900-an di Suci, Manyar. Atau langsung ke alun-alun kota, menelusuri bangunan-bangunan kuno di sekelilingnya hingga ke pelabuhan.

Akhirnya, Namun Bukan yang Terakhir
            Sahabat CIKAL, sebenarnya tulisan ini belumlah rampung. Masih banyak yang ingin dipaparkan tentang seluk-beluk kota kita tercinta ini. Namun, yang lebih penting adalah tulisan ini merupakan awal bagi kita semua untuk bersama-sama memahami sejarah Gresik. Nantinya bisa menjadi “spion” bagi kita dalam menatap masa lalu untuk merancang masa depan yang lebih baik dengan hati-hati.
Ternyata, memang masih banyak yang belum kita ketahui tentang Gresik. Kini tongkat perjuangan membangun Gresik ada pada tangan Sahabat CIKAL semua. Dengan mengetahui seperti apa sih Gresik yang dulu dan Gresik yang sekarang, kita akan lebih bijak dalam membentuk masa depan Gresik yang cemerlang. Mari kita mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang!
***
Karena capai bersepeda, Otong pulang. Di rumah ia tanya kepada ibunya, “Bu, kalau mau ke Gua Lawa itu lewat mana ya?”. “Lewat jalan Brotonegoro, samping Giant itu lho. Lurus, terus belok kanan, nanti ada tikungan setelah sekolahan belok kanan.”. “Jalan Brotonegoro? Brotonegoro itu siapa ya, Bu?” timpal Otong. Si ibu garuk-garuk kepala sambil mengangkat bahunya. “Embuh, Nak. Tanya ke simbah saja!” tukas ibu. Dari dalam kamar sang kakek setengah berteriak, “Brotonegoro itu bupati Gresik ke-11 sekaligus bupati Gresik yang pertama sejak peralihan VOC ke pemerintah jajahan Hindia Belanda, memerintah tahun 1788—1808.”. Otong kembali menimpali, “Jadi, Gresik sudah pernah ganti bupati berapa kali, Mbah?”. Tak ada jawaban dari dalam kamar, selain suara kepala yang digaruk, srek-srek-srek(pndx)




Sumber Pustaka

            Basundoro, Purnawan. 2001. “Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Respons Masyarakat: Studi Kasus Kota Gresik” dalam Jurnal Humaniora. Vol.XIII. No.2. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
            Mustakim. 2007. Gresik Dalam Lintasan Lima Zaman. Surabaya: Pustaka Eureka
            Zainuddin, Oemar. 2010. Kota Gresik 1896—1916: Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi. Depok: Ruas
            www.gresik.go.id

0 komentar: