Sabtu, April 04, 2009

Surat dari Penyair (Drama Pendek)


Naskah Drama
SURAT DARI PENYAIR
(Diilhami dari Kehidupan Chairil Anwar ‘Si Binatang Jalang’)
Oleh ABIZAR PeA

Tokoh:
1. Bapak
2. Ibu
3. Ida, anak Bapak dan Ibu
4. Mirna
5. Soraya
6. Suara dari Luar

***

PANGGUNG BERLATAR RUANG TAMU. MALAM. ADA MEJA DAN BEBERAPA KURSI. ADA SEMUG TEH DI ATAS MEJA YANG DI SAMPINGNYA SEBUAH RADIO LAMAT-LAMAT TERDENGAR LAGU KERONCONG. ADA SEPASANG SEPATU DAN KAIN LAP TERGELETAK DI DEPAN.
IDA MASUK SAMBIL MEMBACA SECARIK KERTAS.

Suara dari Luar:
Sayangku mesra. Dari yang satu ke yang lain, adik, selangkah demi selangkah!
Jika di perjamuan, sekarang kepala hidangan!
Tapi selembar dari buku harian tidak akan memberi kelengkapan,
Ida tentu mengerti! Jadi tertegun-tegun juga aku sebentar memikirkan tarikan-tarikan tepat jitu supaya dapat adik kesan yang penuh-pasti. Dapatkah Idaku menerka apa yang terbayang dengan terang-menyilau di mataku, ketika menuliskan baris-baris ini? Dapat? Kolonel Yamasaki, Ida!
Perwira-satria dari Attu! Aduh, terus bersatu jiwa dengan beliau ini. Penjelmaan citaku memang!
Lihatlah, manisku, dalam pengabdiannya yang meningkat setinggi-tingginya terhadap J.M.M. TENNO HEIKA, Nusa dan Bangsa, dalam perasaannya yang telah mencapai ujung dan puncak, maka kukira sebagian besar mesti terselip tenaga hidup yang hebat berkobar-kobar, sehingga diteruskannya dalam mati
Ida! Vitalisme.
Tenaga hidup! Tenaga hidup!
Mata Ida bertanya, kulihat. Kalau-kalau vitalisme ini mungkin diresapkan dalam seni? Mengapa tidak, adik. Bahkan sifat ini tidak mungkin dihilangkan atau ditiadakan.
(Ch. Anwar, Pidato Chairil Anwar 1943)

TIBA-TIBA BAPAK KELUAR. MEMAKAI PAKAIAN SEADANYA.

Bapak:
Baca apa, anak gadis? Seriusnya.

Ida:
(KAGET. MENYIMPAN KERTASNYA DI BALIK PUNGGUNG.
DUDUK DI KURSI)

Bapak:
Kenapa diam? Pasti ada yang kau pikirkan? Ceritalah!
(MENUJU KURSI, DUDUK. MENGAMBIL MUG DAN MEMINUM TEHNYA. MENGELUARKAN BUNGKUS ROKOK. MENGAMBIL SEBATANG DAN MENYULUTNYA)
Hmm.. Masih berapa lama kau akan diam?

Ida:
(BERDIRI KE DEPAN PANGGUNG. TETAP BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN KERTAS DARI BAPAK. AGAK BINGUNG)

Bapak:
Anak itu memang luar biasa. Jago berkata-kata. Tulisannya unik dan, tentu, lain.
Tapi tetap saja dia pemuda yang aneh. Dan kurang ajar.

Ida:
(SEDIKIT TERTEGUN. TERSINGGUNG, LALU KELUAR PANGGUNG)
IBU MASUK, BERPAPASAN DENGAN IDA. IDA MENGHINDAR DAN TERUS KELUAR. IBU MENGHAMPIRI BAPAK. DUDUK DI DEKAT BAPAK.

Ibu:
Masih?

Bapak:
Seperti kemarin-kemarin.

Ibu:
Tak ada perkembangan?

Bapak:
Sama sekali.

Ibu:
Bicara?

Bapak:
Nyaris. Tapi pun juga seperti kemarin.

Ibu:
Dia tak tahu apa yang dia tunggu.

Bapak:
Tak tahu siapa. Tak tahu kapan. Tak tahu di mana pula.

Ibu:
(MENGAMBIL MUG DAN MEMINUM TEHNYA)

Bapak:
(MENYERGAH) Hei, itu teh Bapak!

Ibu:
Besok bikin pakai tanganmu!

Bapak:
(URUNG. MEMATIKAN ROKOK)

Ibu:
Kadang-kadang Ibu punya sangka Ida tertekan. Kadang pula Ida terlihat menikmatinya.

Bapak:
(BERDIRI. MENUJU SEPATU DI DEPAN PANGGUNG. MENGELAPNYA SAMBIL JONGKOK) Ini harus dipastiken. Malah harus dari dulu. Kita terlambat. Ida telanjur cinta. Tapi dia pun tak pernah omong kalau mempunyai percintaan. Ida telanjur memilih untuk menunggu.

Ibu:
(MEMATIKAN RADIO) Lalu?

MIRNA DAN SORAYA DATANG TERGESA-GESA. BAPAK DAN IBU KAGET. LAMPU MATI

Suara dari Luar:
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
(Ch. Anwar, Merdeka)
LAMPU HIDUP.

Ibu:
Siapa saudari?

Mirna:
Mirna.

Soraya:
Soraya.

Mirna:
Kami dari Jakarta.

Soraya:
Kurang lebih begitu.

Mirna:
Kami orang baik-baik. Tak pernah nyolong apalagi tidur sama tuan-tuan pembesar.

Soraya:
Pernah juga hampir diperkosa.

Mirna:
Kami bukan Cina. Jawa tulen.

Soraya:
Tapi saya punya ibu orang Palembang.

Mirna:
Kami ber...(DIPOTONG OLEH BAPAK)

Bapak:
Cukup...cukup... Remaja sekarang suka yang berlebihan.
Ceritaken maksud apa kalian datang?

Ibu:
(MENYERGAH) Sebentar.. sebentar... (MENDEKATI MIRNA DAN SORAYA)
Silakan duduk dulu. Kami juga tahu tatacara menerima tamu yang baik.

MIRNA DAN SORAYA DUDUK.

Ibu:
Minum apa? Teh? Kopi? Hangat? Panas? Bagaimana dengan takaran gulanya?
Atau mau pakai gula Jawa?

Bapak:
Bu, jangan ikut berlebihan!

Mirna:
Tuak!

Soraya:
Saya bir!

Bapak:
(MENDENGAR ITU, KAGET)
Setan!!

Ibu:
(MENGERNYIT) Kami tak punya minuman semahal itu.

Mirna:
Anda bilang tuak mahal?

Ibu:
(DIAM)

Bapak:
Ibu, sudah hampir waktunya! Cepat bikinken! Air gula saja! Dua gelas!
(MENYALAKAN RADIO LAGI. MEMINUM TEH. MENYULUT ROKOK LAGI. KE DEPAN PANGGUNG, MENGAMBIL SEPATU. KEMBALI KE KURSI. MEMASANG SEPATU)
IBU KELUAR.

Bapak:
Maafken bila saya kurang punya sopan. Beberapa puluh menit lagi, saya harus berada di tempat kerja. Saya ulangi. Ceritaken maksud yang kalian punya!

Mirna:
Ida.

Bapak:
Ida siapa?

Mirna:
Ada berapa nama Ida di kampung ini?

Bapak:
Baiklah. Teruskan!

Mirna:
Anda tahu penyair itu.

Bapak:
(DIAM SAMBIL MENERUSKAN MEMASANG SEPATU)

Soraya:
Kami ada perlu dengan anak Tuan.

Bapak:
(AGAK ACUH) Ibu! Lekas kau ambil baju Bapak pula! (BERTERIAK PADA IBU DI LUAR)

Soraya:
Tuan, kami ada perlu dengan Ida.

Bapak:
Ibu, kau pilihkan yang punya warna gelap! Sepertinya aku akan berkotor-kotor hari ini.
(MASIH AGAK ACUH. KESULITAN MEMASANG SEPATU)

Mirna:
Kami punya waktu sedikit.

Bapak:
(DIAM)

IBU MASUK MEMBAWA DUA GELAS AIR GULA DI NAMPAN DAN BAJU YANG TERSAMPIR DI BAHUNYA. MENDEKATI MEJA. MELETAKKAN GELAS DI SITU. MENDEKATI BAPAK. BAPAK BERDIRI. IBU MEMASANGKAN BAJU PADA BAPAK.

Mirna:
(BERDIRI) Maaf, Tuan Nyonya! Mungkin agak sedikit buruk kedatangan kami tadi. Tapi tadi juga kami telah berkata bahwasanya kami orang baik-baik dan punya maksud baik. Sudilah kiranya Tuan Nyonya beri waktu sedikit buat kami. Kami bawa kabar penting.

Soraya:
(BERDIRI) Tuan Nyonya, seperti halnya sebuah drama. Cerita kehidupan yang enak dinikmati itu yang punya masalah yang memuncak, klimaks. Tapi ini lain, Tuan Nyonya. Masalah satu belum sampai pada klimaks, sudah muncul masalah yang lain. Kami tak pernah mencapai puncak, menggantung. Sudah barang tentu kami selalu tak punya penyelesaian. Kami punya banyak harap pada Ida, anak gadis Tuan Nyonya. Ida adalah harapan penyelesaian drama tragedi kami. Terutama penyair itu.

Ibu:
Ceritakanlah!

Soraya:
Maaf, Nyonya. Hanya Ida yang boleh mendengar.

Bapak:
Kami orangtuanya! (MENGHARDIK)

Ibu:
Silakan duduk kembali (HALUS) Diminum dulu airnya.

MIRNA DAN SORAYA DUDUK. MEREKA BERTATAPAN.
KEMUDIAN MINUM AIR YANG DISAJIKAN.
SEKEJAP ITU PULA, IDA MASUK SAMBIL MASIH MEMBAWA KERTAS TADI. SERENTAK MIRNA DAN SORAYA BANGKIT BERDIRI LAGI.

Mirna & Soraya:
Ida??
MIRNA DAN SORAYA MENDEKATI IDA. IDA AGAK TAKUT.
BAPAK DAN IBU HANYA DIAM.

Mirna:
Benar kau Ida?!

Soraya:
Penyair itu, Ida!

Mirna:
Gawat!

Soraya:
Ia disiksa!

Mirna:
Opsir Shimitsu!

Soraya:
Berdarah-darah!

Mirna:
Tapi masih sempat tertawa!

Soraya:
Kau harus menemuinya! Ia ingin kau datang!

Mirna:
Kau pasti juga telah tahu betapa mengerikannya ruang interogasi!

Soraya:
Ruang interogasi Jepang lebih kejam, Ida!

Mirna:
Ayo, cepatlah! Ikut kami!

IDA MENDEKATI BAPAK DAN IBU.

Ibu:
Pergilah, Nak! Jemput ia!

Bapak:
(DIAM)

Ida:
Biar dia mati saja!!
(LANGSUNG KELUAR)

YANG LAINNYA HANYA TERTEGUN, DIAM.

Bapak:
Akhirnya ia bicara juga, Bu.

Suara dari Luar:
Begini! Lihat!
Soal keindahan soal yang yang hingga kini masih dalam perbincangan sebenarnya. Bagiku keindahan, Ida, persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup. Ini tentu penerangan yang pendek-tegas saja. Tapi ada vitalitas lain. Dengan keindahan tidak ada samanya. Dari ujung ke pangkal bandingannya. Karena vitalitas adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam mencapai keindahan. Dalam seni: vitalitas itu chaotisch voorstadium, keindahan kosmisch eindstadium.
Tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik. Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar-tak-bertepi, seniman adalah dari hidup yang melepas-bebas.
Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, bersendiri!
Bukan, bukan, sekali-kali bukan! Mungkin yang begini akibatnya mati sendiri, dan tak ada yang menguburkan. Hanya kemauan, inti hidup, itu yang merdeka.
(Ch. Anwar, Pidato Chairil Anwar 1943)

***Selesai?***

Yogyakarta, 21 April 2007

PNDX’2007

NB: Naskah drama ini disiapkan untuk Teater Terjal dalam acara
Peringatan Chairil Anwar oleh Mahasiswa Sastra Indonesia UGM
pada Jumat, 27 April 2007 di Fak. Ilmu Budaya UGM.