Sabtu, November 29, 2008

Kau Gunung, Aku Lautan

KAU GUNUNG, AKU LAUTAN: Deru Napas dan Suara Azan
(buat tanah lahirku, Gresik)



Melesat sudah lamunanku, menyelinap di balik azan
Dan di tiap lekuk senja, tak pernah lewat kita bercengkerama
Tentang riuh tabuh terbang
Dan serbu debur ombak pada karang
Tentang sarung, surban, dan salawatan
Serta mata kita yang memejam menjelajahi-

Gunung dan lautan, wasiat para wali, jadi teladan menancap di hati

Kota ini selalu pagi, deru nafasnya jadi saksi
Dermaga tak pernah sepi, hangat kopi selalu tersaji
Lewat jejakmu, kupunguti batu-batu putih
Lewat cintaku kuyakini dan kan kujelajahi-

Gunung dan lautan, wasiat para wali, hidupku terestui
Gunung dan lautan, tinggi tak bertepi, jadi teladan menancap di hati

Kau tanam nyanyianmu dalam dekapan
Berderu-deru senandungkan salam
Kudendangkan rindu padaMu Tuhan
Berseru-seru menjaga malam

Lewat jejakmu, kupunguti batu-batu putih
Lewat cintaku kuyakini dan kan kujelajahi-

Gunung dan lautan, tinggi tak bertepi, jadi teladan menancap di hati

Kau tanam nyanyianmu dalam dekapan
Berderu-deru senandungkan salam
Kudendangkan rindu padaMu Tuhan
Berseru-seru menjaga malam
Kuhiasi imanku padaMu Tuhan
Lewat jejakmu, cintaku makin dalam

Sabtu, November 22, 2008

...selamat malam...

...mungkin kau menjelma kunang....

Tiba di Rumahmu

pro-yogya (Eka Patas)

Setibanya aku di rumahmu..
Kenapa hanya bekas onggokan kita semalam...
Aku mencintaimu...
Seperti ku mencari rusukku yang lenyap
Yang kita belai bersama semalam...
Kamu mencintaiku...
Tapi kenapa hanya semalam?

Meja, Peluru, dan Lutut

bersama murambatu-uwiek


Di meja sudut kantin yang ringsek
Tak ada cahaya
Asapnya mengepul menyelongsong peluru yang tercecer
Aduh, lututnya kembali meruncing
Dongeng dan sejarah yang dia perbincangkan
Tiba-tiba membuatku mual dan gagap. Dia iba.
Meja, peluru, dan lutut aku punguti
Dan menjadi semakin aneh saja.

Jari Kuku

buat imam samudra-amrozi-mukhlas

Jari dan kuku yang menyenangi tarian tukar guling,
mencoba menyela satu mulutku yang tak mau tertutup,
tak mampu membuka.
Golongan darah macam mereka terkekang kehendak dermanya.
Ya!
Darah merekalebih dua tahun tiba-tiba menjadi tua; aneh tidak?!

Jari dan kuku; jariku dan kukunya,
membabi-buta menekan-nekan tuts piano dan sela-sela kalkulator,
menghitung jarakku dengannya.
Dada bidang macam mereka menjadi penjara naluri hidupnya.
Ya!
Naluri hidupyang terpaksa digagahi hingga mati; aneh bukan?!

Jariku dan kukunya; Jari-kuku yang sama,
berlomba menghabiskan dahaga sudut siku buku-bukunya biar tak lelah juga,
lelah juga.
Otak apatis macam mereka memang perlu disulut kopi-susu hangat dari merk dagang: Keadilan; Aneh?

Ya?

Ya!

Jariku, jarimu, jarinya, jari mereka.
Kukuku, kukumu, kukunya; sayang, mereka tak punya kuku.
Menjadi satu dalam beberapa lubang kubur.
Menunggu mati.

Aneh?Bom!!!

Maafken Saja, Toean Tjokro!

Maafken saja, Toean Tjokro!
Saja tiada bisa kembali beriken itoe redjeki oetangan dari Toean Tjokro poenja "debiet"...
Toean Tjokro, tiada jang saja bisa moeliaken manoesia di ini doenia selaen Toean Tjokro..
Biarlah tempo hari dalam pada itoe oeroesan oetang-pioetang bisa saja selesaiken segera besoek pagi...
Saja tahoe, Toean Tjokro...
Saja tahoe...
Toean Tjokro amat bisa menentoeken kapan saja idoep, kapan mati....
Tapi, Toean Tjokro....
Tapi mengapa Toean bertindak perlakoean seperti itoe?
Boekankah saja bapakmoe?